Thursday, July 14, 2011

Tamparan dari Tanzania

Kepala saya hampir selalu penuh dengan pikiran tentang vitiligo. Di satu titik saya bahkan merasa terobsesi dengan vitiligo. Sama sekali tidak sehat. Saya mendapat tamparan seketika kemarin malam. Saya merasa malu sekali. Saya beruntung, tetapi tidak mensyukurinya. Betapa sombong.

Tamparan itu datang dalam bentuk sebuah acara televisi di Oprah Winfrey Network (OWN). Judul acara yang saya tonton adalah "Primetime on OWN". Acara ini mengangkat berbagai kisah menarik dari seluruh penjuru dunia. Kemarin malam kisah pilu empat orang albino yang tinggal di Afrika diangkat ke layar kaca.

Menjadi seorang albino di Afrika Timur adalah sesuatu yang terlalu berat. Karena masih kuatnya kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan ilmu sihir, organ tubuh orang-orang albino menjadi target untuk sesuatu yang berharga tinggi di pasar gelap. Cerita itu bagaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi bagi saya, namun pada kenyataannya hal itu benar-benar terjadi. Empat orang albino yang ceritanya diangkat oleh OWN adalah buktinya. Mereka masih hidup, namun tidak dengan organ tubuh yang masih lengkap.

Di tahun 2009 kisah tentang perburuan orang-orang albino di Tanzania mulai terekspos. Di tahun yang sama 20 orang albino sudah dibunuh, dimutilasi dan dijual organnya di pasar-pasar gelap oleh dokter-dokter sihir. Orang-orang albino dipercaya memiliki kekuatan gaib, dapat membuat siapapun yang meminum ramuan yang terbuat dari darah atau organ mereka menjadi kaya dan penuh keberuntungan.

Saya tidak sanggup menonton acara itu hingga selesai. Setelah saya mendengar kisah seorang perempuan albino bernama Mariamu Stanford yang selamat dari penyerangan terhadap dirinya, saya segera mematikan televisi dan mencoba berpikir tentang hal lain, karena kisahnya begitu memilukan hati.

Mariamu tinggal di sebuah desa terpencil di Tanzania bersama anak dan orangtuanya. Di suatu malam ketika ia dan anaknya sedang tidur, sekelompok pria tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan bahwa mereka akan memotong tangannya. Bila Mariamu berteriak tangan yang lain akan mereka potong juga. Tentu saja dia berteriak. Pada akhirnya ia kehilangan kedua tangannya. Tenaga medis baru datang 6 jam kemudian.

Kisah Mariamu dapat Anda baca sendiri di: Africans With Albinism Hunted.

Malu rasanya jika saya masih berkeluh kesah soal vitiligo yang saya miliki. Tamparan ini datang pada saat yang tepat.

Semoga semua orang albino di Tanzania diberikan kekuatan dan keadilan yang sepatutnya mereka dapatkan.

Wednesday, July 13, 2011

Vitiligo dan Alergi Makanan

Lima minggu yang lalu saya memulai pola makan yang mengindari segala produk gluten. Mengapa? Karena saya melakukan riset dan menemukan hubungan antara celiac disease, yakni penyakit karena alergi gluten dan vitiligo.

Saya memulai diet tersebut tanpa berkonsultasi dulu dengan dokter kulit, karena pada dasarnya saya tidak percaya terhadap dokter kulit bila sudah menyangkut vitiligo. Ketika diet itu dimulai saya sudah memiliki janji dengan dokter umum untuk melakukan evaluasi fisik menyeluruh yang memang saya lakukan setiap tahun. Janji temu itu dijadwalkan terjadi sebulan setelah saya memulai diet tanpa gluten.

Gluten sendiri adalah campuran amorf (bentuk tak beraturan) dari protein yang terkandung bersama pati dalam endosperma (dan juga tepung yang dibuat darinya) beberapa serealia, terutama gandum, gandum hitam, dan jelai. Dari ketiganya, gandumlah yang paling tinggi kandungan glutennya. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein dalam tepung, dan terdiri dari protein gliadin dan glutenin. Gluten membuat adonan kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. (wikipedia bahasa Indonesia)

Salah satu artikel di dunia maya yang membuat saya tertarik untuk mencoba diet gluten free dapat Anda baca di sini: Vitiligo and Food Allergies.  Dr. Stephen Wangen adalah dokter ahli alergi. Di dalam artikel itu ia mengemukakan bahwa seorang pasien datang kepadanya dengan masalah pencernaan dan Dr. Wangen menemukan bahwa pasien ini ternyata memiliki alergi terhadap produk susu serta gula tebu. Hal paling menarik adalah Dr. Wangen melihat kehadiran vitiligo pada tubuh pria tersebut.

Setahun kemudian pria itu datang lagi menemui Dr. Wangen dan vitiligo di tubuhnya sudah jauh membaik. Pria itu juga mengatakan bahwa adiknya yang memiliki kondisi yang sama juga membaik setelah menghindari produk susu dan gula tebu.

Banyak orang kemudian memberikan komentar pada tulisan itu. Kebanyakan bertanya tentang vitiligo yang mereka miliki dan tak sedikit yang mengaku memiliki celiac disease, sekaligus vitiligo. Dari sanalah kemudian hubungan alergi makanan dan vitiligo muncul di kepala saya.

Saya memang alergi produk susu, tetapi saya selalu menghindari minum susu sapi, maka muncul pikiran bahwa saya juga memiliki alergi terhadap hal lain. Dari sanalah saya mencoba diet tanpa gluten. Nah, kemarin hasil pemeriksaan kesehatan rutin saya akhirnya keluar. Celiac disease screening juga dilakukan terhadap saya. Hasilnya adalah: saya sehat dan tidak alergi gluten.

Jujur saja saya kecewa. Saya lebih baik menghindari gluten seumur hidup daripada terus-menerus penasaran tentang apa yang menjadi penyebab vitiligo di tubuh ini. Tetapi saya kemudian berusaha tenang dan berpikir. Masih ada banyak kemungkinan lain tentang munculnya vitiligo. Saya hanya perlu terus bersabar dan mengeliminasi kemungkinannya satu-persatu hingga menemukan jawabannya.

Kadang itu yang terjadi. Kita terobsesi untuk menemukan jawaban, mencoba melakukan apa yang kita anggap dapat menjadi jalan keluar, lalu kecewa karena ternyata bukan itu jawabannya.

Buang nafas, tarik nafas. Hidup berjalan terus. Saya akan melakukan tes alergi makanan secara menyeluruh. Saya masih percaya alergi terhadap sesuatu yang membuat tubuh saya tidak seimbang.

Bagaimana dengan Anda? Apakah pencernaan Anda sehat? Apakah tubuh Anda bereaksi berlebihan terhadap satu jenis makanan?