Wednesday, August 17, 2011

Sinar Matahari: Baik atau Buruk?

Houston sedang panas-panasnya. Hampir setiap hari suhu mencapai 39 atau 40 derajat Celcius dengan matahari yang bersinar garang, tanpa ampun. 

Meski dianjurkan untuk berjemur dalam rangka memerangi vitiligo, namun saya memilih untuk berlindung dan membiarkan kulit saya TIDAK terbakar matahari. Saya merasa ketika saya tidak mendapatkan terlalu banyak matahari, vitiligo saya kelihatan sedikit lebih baik. Lagipula, tidak sehat untuk kulit tanpa pigmen mendapat terpaan sinar matahari yang terlalu kuat.

Saya memilih untuk mendapatkan sinar matahari di bawah pukul 08.00 pagi. Ini yang cocok bagi saya.

Thursday, July 14, 2011

Tamparan dari Tanzania

Kepala saya hampir selalu penuh dengan pikiran tentang vitiligo. Di satu titik saya bahkan merasa terobsesi dengan vitiligo. Sama sekali tidak sehat. Saya mendapat tamparan seketika kemarin malam. Saya merasa malu sekali. Saya beruntung, tetapi tidak mensyukurinya. Betapa sombong.

Tamparan itu datang dalam bentuk sebuah acara televisi di Oprah Winfrey Network (OWN). Judul acara yang saya tonton adalah "Primetime on OWN". Acara ini mengangkat berbagai kisah menarik dari seluruh penjuru dunia. Kemarin malam kisah pilu empat orang albino yang tinggal di Afrika diangkat ke layar kaca.

Menjadi seorang albino di Afrika Timur adalah sesuatu yang terlalu berat. Karena masih kuatnya kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan ilmu sihir, organ tubuh orang-orang albino menjadi target untuk sesuatu yang berharga tinggi di pasar gelap. Cerita itu bagaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi bagi saya, namun pada kenyataannya hal itu benar-benar terjadi. Empat orang albino yang ceritanya diangkat oleh OWN adalah buktinya. Mereka masih hidup, namun tidak dengan organ tubuh yang masih lengkap.

Di tahun 2009 kisah tentang perburuan orang-orang albino di Tanzania mulai terekspos. Di tahun yang sama 20 orang albino sudah dibunuh, dimutilasi dan dijual organnya di pasar-pasar gelap oleh dokter-dokter sihir. Orang-orang albino dipercaya memiliki kekuatan gaib, dapat membuat siapapun yang meminum ramuan yang terbuat dari darah atau organ mereka menjadi kaya dan penuh keberuntungan.

Saya tidak sanggup menonton acara itu hingga selesai. Setelah saya mendengar kisah seorang perempuan albino bernama Mariamu Stanford yang selamat dari penyerangan terhadap dirinya, saya segera mematikan televisi dan mencoba berpikir tentang hal lain, karena kisahnya begitu memilukan hati.

Mariamu tinggal di sebuah desa terpencil di Tanzania bersama anak dan orangtuanya. Di suatu malam ketika ia dan anaknya sedang tidur, sekelompok pria tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan bahwa mereka akan memotong tangannya. Bila Mariamu berteriak tangan yang lain akan mereka potong juga. Tentu saja dia berteriak. Pada akhirnya ia kehilangan kedua tangannya. Tenaga medis baru datang 6 jam kemudian.

Kisah Mariamu dapat Anda baca sendiri di: Africans With Albinism Hunted.

Malu rasanya jika saya masih berkeluh kesah soal vitiligo yang saya miliki. Tamparan ini datang pada saat yang tepat.

Semoga semua orang albino di Tanzania diberikan kekuatan dan keadilan yang sepatutnya mereka dapatkan.

Wednesday, July 13, 2011

Vitiligo dan Alergi Makanan

Lima minggu yang lalu saya memulai pola makan yang mengindari segala produk gluten. Mengapa? Karena saya melakukan riset dan menemukan hubungan antara celiac disease, yakni penyakit karena alergi gluten dan vitiligo.

Saya memulai diet tersebut tanpa berkonsultasi dulu dengan dokter kulit, karena pada dasarnya saya tidak percaya terhadap dokter kulit bila sudah menyangkut vitiligo. Ketika diet itu dimulai saya sudah memiliki janji dengan dokter umum untuk melakukan evaluasi fisik menyeluruh yang memang saya lakukan setiap tahun. Janji temu itu dijadwalkan terjadi sebulan setelah saya memulai diet tanpa gluten.

Gluten sendiri adalah campuran amorf (bentuk tak beraturan) dari protein yang terkandung bersama pati dalam endosperma (dan juga tepung yang dibuat darinya) beberapa serealia, terutama gandum, gandum hitam, dan jelai. Dari ketiganya, gandumlah yang paling tinggi kandungan glutennya. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein dalam tepung, dan terdiri dari protein gliadin dan glutenin. Gluten membuat adonan kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. (wikipedia bahasa Indonesia)

Salah satu artikel di dunia maya yang membuat saya tertarik untuk mencoba diet gluten free dapat Anda baca di sini: Vitiligo and Food Allergies.  Dr. Stephen Wangen adalah dokter ahli alergi. Di dalam artikel itu ia mengemukakan bahwa seorang pasien datang kepadanya dengan masalah pencernaan dan Dr. Wangen menemukan bahwa pasien ini ternyata memiliki alergi terhadap produk susu serta gula tebu. Hal paling menarik adalah Dr. Wangen melihat kehadiran vitiligo pada tubuh pria tersebut.

Setahun kemudian pria itu datang lagi menemui Dr. Wangen dan vitiligo di tubuhnya sudah jauh membaik. Pria itu juga mengatakan bahwa adiknya yang memiliki kondisi yang sama juga membaik setelah menghindari produk susu dan gula tebu.

Banyak orang kemudian memberikan komentar pada tulisan itu. Kebanyakan bertanya tentang vitiligo yang mereka miliki dan tak sedikit yang mengaku memiliki celiac disease, sekaligus vitiligo. Dari sanalah kemudian hubungan alergi makanan dan vitiligo muncul di kepala saya.

Saya memang alergi produk susu, tetapi saya selalu menghindari minum susu sapi, maka muncul pikiran bahwa saya juga memiliki alergi terhadap hal lain. Dari sanalah saya mencoba diet tanpa gluten. Nah, kemarin hasil pemeriksaan kesehatan rutin saya akhirnya keluar. Celiac disease screening juga dilakukan terhadap saya. Hasilnya adalah: saya sehat dan tidak alergi gluten.

Jujur saja saya kecewa. Saya lebih baik menghindari gluten seumur hidup daripada terus-menerus penasaran tentang apa yang menjadi penyebab vitiligo di tubuh ini. Tetapi saya kemudian berusaha tenang dan berpikir. Masih ada banyak kemungkinan lain tentang munculnya vitiligo. Saya hanya perlu terus bersabar dan mengeliminasi kemungkinannya satu-persatu hingga menemukan jawabannya.

Kadang itu yang terjadi. Kita terobsesi untuk menemukan jawaban, mencoba melakukan apa yang kita anggap dapat menjadi jalan keluar, lalu kecewa karena ternyata bukan itu jawabannya.

Buang nafas, tarik nafas. Hidup berjalan terus. Saya akan melakukan tes alergi makanan secara menyeluruh. Saya masih percaya alergi terhadap sesuatu yang membuat tubuh saya tidak seimbang.

Bagaimana dengan Anda? Apakah pencernaan Anda sehat? Apakah tubuh Anda bereaksi berlebihan terhadap satu jenis makanan?

Friday, June 24, 2011

(Un)Pretty

Dalam perjalanan menuju ke(tidak)sempurnaan ini bagian terberat adalah ketika rasa tidak percaya diri muncul. Bagian yang paling membuat ngilu adalah menyadari bahwa meskipun saya memakai seluruh make-up yang ada di dunia, saya tetap akan merasa berbeda dari manusia-manusia lainnya.



I wish i could tie you up in my shoes
Make you feel unpretty too
I was told I was beautiful
But what does that mean to you
Look into the mirror who's inside there
The one with the long hair
Same old me again today (yeah)

My outsides are cool
My insides are blue
Every time I think i'm through
It's because of you
I've tried different ways
But its all the same
At the end of the day
I have my self to blame
I'm just trippin

Chorus:
You can buy your hair if it won't grow
You can fix your nose if he says so
You can buy all the make-up
that M.AC. can make
But if you can't look inside you
Find out who am I too
Be in a position to make me feel
So damn unpretty
I'll make you feel unpretty to

Never insecure until I met you
Now I'm bein stupid
I used to be so cute to me
Just a little bit skinny
Why do I look to all these things
To keep you happy
Maybe get rid of you
And then i'll get back to me (hey)

My outsides looks cool
My insides are blue
Everytime I think I'm through
It's because of you
I've tried different ways
But it's all the same
At the end of the day
I have myself to blame
Keep on trippin

You can buy your hair if it won't grow
You can fix your nose if he says so
You can buy all the make-up
that M.A.C can make
But if you can look inside you
Find out who am I too
Be in a position to make me feel
So damn unpretty

You can buy your hair if it won't grow
You can fix your nose if he says so
You can buy all the make-up
that M.A.C can make
But if you can look inside you
Find out who am I too
Be in a position to make me feel
So damn unpretty
I'll make you feel unpretty to(i'll make u feel unpretty too)

oh oh oh oh oh
oh oh oh oh oh (oh)
oh oh oh oh oh
oh oh oh oh oh (oh)

You can buy your hair if it won't grow
You can fix your nose if he says so
You can buy all the make-up
that M.A.C can make
But if you can look inside you
Find out who am I too
Be in a position to make me feel
So damn unpretty

You can buy your hair if it won't grow
You can fix your nose if he says so
You can buy all the make-up
That M.A.C can make
But if you can look inside you
Find out who am I too
Be in a position to make me feel
So damn unpretty
I'll make you feel unpretty too

Thursday, June 16, 2011

Air Panas dan Vitiligo

Musim dingin di Houston memang tidak penuh salju. Tetap saja, sebagai seseorang yang terbiasa dengan iklim tropis, suhu di bawah 10 derajat Celcius terlalu dingin bagi saya. Maka saya selalu mempergunakan air panas ketika mencuci piring dan tangan. 

Sudah dua kali saya merasakan musim dingin di Houston. Di tahun 2010 kulit tangan saya kering luar biasa, bahkan hingga retak-retak dan berdarah. Jelek sekali. Di tahun 2011, musim dingin tahun ini, tangan saya kembali merasakan kesakitan yang sama. Bedanya, tahun ini setelah luka-luka akibat perpaduan air panas dan udara dingin itu sembuh, bercak-bercak vitiligo menggantikan mereka.

Saat ini punggung tangan kanan saya terlihat seperti ini:


Moral dari cerita ini sederhana; jauhi air yang terlalu panas, baik itu untuk mencuci piring, tangan, juga wajah dan tubuh. Untuk kulit saya ternyata suhu ekstrem bukan kawan terbaik. Mungkin bisa berbeda bagi Anda, tetapi yang saya tahu, bekas luka dapat menjadi sumber munculnya vitiligo. 


Salam,

Andini

Wednesday, June 8, 2011

Yoga

"The only disability in life is a bad attitude" - Scott Hamilton

Kutipan di atas, jika boleh saya terjemahkan, intinya mengatakan bahwa satu-satunya yang menjadi kendala dalam menjalani hidup adalah sikap yang buruk.

Terlalu sering saya menyalahkan cuaca, lalu lintas, suami, uang, juga vitiligo ketika saya sedang merasa tidak bahagia. "Menyebalkan sekali hari ini! Cuaca di luar panasnya amit-amit, saya jadi malas keluar dan olahraga." atau "Vitiligo ini membuat saya jelek. Vitiligo ini membuat saya tidak ingin keluar rumah dan bertemu orang lain." Semua salah, kecuali saya. Semua salah, kecuali sikap saya dalam menghadapi hidup.

Kutipan dari Scott Hamilton itu saya temukan di belakang baju yang dipergunakan oleh guru yoga saya. Sejak satu tahun yang lalu saya rutin melakukan yoga dan rutinitas itu sudah menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidup saya.

Awalnya saya melakukan yoga karena ingin berolahraga. Saya bukan orang yang kompetitif dan saya tidak suka olahraga yang high impact dengan musik yang keras meraung-raung sebagai latar belakang. Tapi kemudian saya menemukan bahwa yoga membantu saya tenang. Yoga membantu saya mau menjadi lebih toleran, mau menjadi lebih santai.

Yoga tidak membuat vitiligo saya hilang, namun yoga membantu saya untuk lebih mengenal dan menyatu dengan tubuh yang saya miliki ini. Jiwa dan tubuh saling berkenalan lewat pose-pose yang ditawarkan oleh yoga dan saya sangat menikmati proses perkenalan itu. Yoga membantu saya menerima bahwa setiap sel di dalam tubuh ini adalah bagian dari saya, bagaimanapun rupanya. Meskipun bintik-bintik putih terus bermunculan, saya belajar untuk hidup dengan hal itu. Tidak mudah. Tidak pernah mudah. Tetapi paling tidak perjalanan ke sana sudah dimulai.

Kelas yoga yang paling saya sukai adalah yang saya selalu lakukan di hari Minggu pagi. Saya rela bangun jam 7 pagi meskipun malam sebelumnya saya tidur pukul 3 atau 4. Dan saya akan bangun dengan begitu ringan hati untuk melakukan semua persiapan sebelum berangkat ke kelas yoga. Kelas yoga itu berlangsung selama 2 jam, bahkan kadang 2,5 jam. Dipimpin oleh seorang perempuan berusia 73 tahun yang sudah melakukan yoga sejak usianya 35. Ia adalah salah satu manusia paling ceria yang saya kenal. Saya percaya ia bahagia, karena ketika ia berada di kelas, semua orang mendapatkan energi positif darinya.

Guru saya itu selalu mengulang-ulang satu kalimat yang membuat saya senantiasa merasa lebih tenang. Ia selalu mengingatkan bahwa setiap hari adalah berbeda. Apa yang terjadi kemarin, minggu lalu, tahun lalu tidak sama dengan hari ini. Ia bicara tentang gerakan-gerakan yoga yang kami lakukan. Mungkin minggu lalu saya bisa melakukan gerakan kayang dengan mudah, tetapi hari ini tidak. Itu sesuatu yang perlu diterima, karena kemarin bukanlah hari ini dan esok belum terjadi.

"Everyday is different" tidak hanya berlaku untuk gerakan-gerakan yoga, tetapi sesungguhnya ke semua hal. Menyimpan dendam atau nostalgia yang berlebihan dan tidak berkesudahan adalah sebuah upaya untuk selalu menempel ke masa lalu, membuat segala sesuatu terlihat lebih baik atau lebih buruk di masa lalu. Padahal hari ini, saat ini, adalah kesempatan untuk melakukan segala sesuatunya untuk pertama kali. Untuk memaafkan, untuk mencintai, untuk mencoba bungee jumping, untuk melakukan gerakan kayang, untuk berpetualang, untuk membuat memori baru, untuk menerima, untuk hidup semua dapat dilakukan saat ini. Hari ini.

Setiap hari kini saya belajar untuk menerima dan mencintai kulit saya. Kulit yang tahun lalu tidak nampak seperti hari ini. Kulit yang mungkin besok atau tahun depan akan semakin terlihat asing bagi saya. Namun saya perlu memilih untuk tidak terobsesi kepada masa depan, karena esok belum terjadi dan belum tentu semua terjadi seperti yang saya pikirkan. Saya akan membiarkan semesta bekerja. Perjalanan ini nampaknya memang untuk saya. Saya belum tahu mengapa, tetapi saya akan berusaha menikmatinya.

Apakah Anda memiliki kegiatan yang Anda cintai? Kegiatan yang membuat Anda dengan ringan hati bangun dari tidur dan melakukannya dengan riang? Kegiatan yang membuat Anda lupa akan masalah yang Anda hadapi? Lakukan terus. Jangan berhenti.


Salam,

Andini

Sunday, May 29, 2011

Tabir Surya

Sebagai pemilik vitiligo, kita harus paham pentingnya tabir surya bagi kulit tersayang. Kulit kita yang penuh dengan belang dan mungkin terlihat tidak "sempurna", namun sangat berharga.

Ketika mendengar kata "sunblock" atau "sunscreen" atau tabir surya, seringkali kita langsung berasumsi bahwa produk itu hanya perlu dipakai supaya kulit tidak hitam. Menjadi hitam adalah sesuatu yang begitu membuat khawatir sehingga satu-satunya pertimbangan untuk memakai tabir surya adalah supaya tidak menjadi hitam. Padahal fungsi tabir surya jauh lebih banyak daripada hanya menjaga kulit supaya tidak hitam.

Asal tahu saja, meskipun memakai tabir surya kulit Anda tetap bisa hitam. Ya, karena fungsi utama tabir surya adalah melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar matahari seperti terbakar, penuaan dini dan kanker kulit. Bagi pemilik vitiligo, kulit putih yang kita miliki adalah kulit tanpa pigmen. Pigmen sendiri berfungsi sebagai pelindung alami kulit dari dampak buruk sinar ultraviolet.

Ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih tabir surya:

1. SPF
Di setiap bungkus tabir surya Anda akan menemukan tulisan SPF yang merupakan singkatan dari Sun Protection Factor. Semakin tinggi angka SPF, semakin kuat perlindungan yang diberikan kepada kulit. SPF memberitahu kita berapa lama lagi kita dapat berada di bawah matahari tanpa takut terbakar atau gosong. Misalkan seseorang biasanya mendapati kulitnya terbakar apabila berada di bawah matahari selama 15 menit. Dengan memakai tabir surya ber-SPF 15 maka orang itu dapat berada di bawah sinar matahari 15 kali lebih lama tanpa takut terbakar.

Angka yang dianjurkan adalah SPF 15 ke atas untuk perlindungan maksimum. Nilai SPF berkisar antara 2 hingga 60. Tapi jangan langsung berasumsi SPF 50 akan memberikan perlindungan yang jauh lebih besar karena penelitian membuktikan bahwa tabir surya dengan SPF 50 hanya memberikan proteksi 1-2% lebih banyak daripada SPF 30.

2. UVA dan UVB
Label pada tabir surya akan memberitahu proteksi UVA atau UVB. Sinar matahari terdiri atas UVA dan UVB. UVA bertanggungjawab terhadap penuaan dini pada kulit. Namun bila berlebihan sinar UVA juga bisa menyebabkan kanker. Sinar UVB bertanggungjawab terhadap kulit yang terbakar dan juga kanker kulit.

Pilih produk tabir surya dengan tulisan "UVA/UVB protection" atau "broad spectrum protectant".

3. Waterproof vs Water Resistant
Jika Anda akan beraktifitas di dalam air, pilih tabir surya dengan tulisan "waterproof" atau "water resistant" yang kurang lebih artinya tahan air.

Tabir surya yang "waterproof" akan tahan menempel pada kulit selama 80 menit, sedangkan yang "water resistant" hanya 40 menit.

Sumber: U. S. Food and Drug Administration. Center for Food Safety and Applied Nutrition Office of Cosmetics and Colors Fact Sheet June 27, 2000;



Harga tabir surya memang sedikit mahal, tetapi percayalah bahwa itu akan menjadi investasi yang berharga di masa depan. Kulit kita berharga, apapun warnanya.


Salam,

Andini

Tuesday, May 17, 2011

Sebab - Akibat

Saya percaya bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia dengan sempurna. Bahwa Ia sudah menciptakan suatu sistem yang sangat kompleks, namun luar biasa sempurna dalam bentuk tubuh manusia. Saya percaya semua hal di dalam tubuh kita saling berhubungan. Ada sebab, ada akibat. Begitu juga dengan vitiligo. 

Selama tiga tahun memiliki vitiligo saya sudah menemui dua orang dokter. Satu di RSCM dan satu lagi di West Houston Medical Center. Satu setengah tahun yang lalu saya pindah ke Houston untuk mengikuti suami. Kedua dokter itu memiliki pendekatan dan solusi yang sama. Kurang lebih yang mereka lakukan adalah memberi penjelasan tentang apa itu vitiligo dan apa yang dapat dilakukan untuk menghilangkannya. Tidak ada jaminan bahwa vitiligo akan hilang.

Kedua dokter itu menawarkan solusi yang sama: salep yang mengandung corticosteroid dan penyinaran dengan sinar UVB. Dokter di Houston bahkan memberikan saya suntikan steroid untuk menstimulasi produksi melamin. Saya lupa nama salep yang diberikan oleh dokter di Indonesia, tetapi dua salep yang diberikan oleh dokter di Houston adalah Protopic 0,1 dan Elidel. Saya sempat melakukan terapi sinar selama hampir 2 bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menghentikan terapi tersebut dan salep yang diberikan.

Saya memutuskan untuk berhenti karena saya merasa tidak nyaman dengan pengobatan yang diberikan. Saya tidak percaya bahwa penggunaan salep dan terapi laser tidak memiliki dampak negatif bagi saya di masa depan jika dilakukan terus-menerus selama bertahun-tahun. Saya juga merasa tidak nyaman dengan ide memerangi vitiligo dengan cara-cara yang keras. Vitiligo adalah akibat. Kita perlu mencari dan mengobati sebab.

Satu hal yang perlu Anda lakukan ketika didiagnosa dengan vitiligo: lakukan tes tiroid. Pastikan bahwa Anda menderita atau tidak menderita hyperthyroidism. Jika angka hormon tiroid Anda lewat batas normal maka carilah dokter yang dapat memberikan pengobatan pada area tersebut. Jika angka hormon tiroid Anda normal (seperti saya) maka mulailah mencari hal lain yang dapat menjadi penyebab vitiligo.

Tubuh kita adalah pemberi signal yang sangat baik tentang penyakit yang kita miliki. Sayangnya terkadang kita memilih untuk mengacuhkannya. Maka mengapa tidak melihat vitiligo sebagai cara tubuh kita tersayang untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih dari sekedar bercak-bercak putih di kulit.

Saya tidak bermaksud mengecilkan dampak psikologis yang muncul pada pemilik vitiligo. Sama sekali tidak. Saya mengerti ada tekanan-tekanan sosial yang muncul ketika bercak-bercak vitiligo menjadi semakin jelas terlihat. Ada standar keindahan fisik yang sulit dipenuhi oleh pemilik vitiligo dan masyarakat sekitar akan dengan senang hati terus-menerus mengingatkan kita tentang standar-standar itu. Saya hanya ingin melempar sebuah topik untuk dipikirkan: apakah Anda memang hanya ingin memerangi vitiligo atau mencari penyebab sesungguhnya di balik munculnya vitiligo itu?

Saya meninggalkan pengobatan konvensional karena saya percaya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam mekanisme tubuh saya, bukan hanya sebatas kulit. Ada sesuatu yang membuat sistem saya berantakan. Ada sesuatu yang membuat vitiligo saya muncul.

Ketahui bahwa saya tidak akan berpanjang-panjang membahas nama salep atau terapi sinar UVA dan UVB. Pengobatan seperti itu tidak berhasil dan tidak cocok bagi saya. Saya ingin mencari cara alternatif untuk melihat dan mengobati vitiligo. Saya ingin tubuh saya kembali seimbang.

Untuk saat ini, teman-teman pemilik vitiligo, jangan lupa untuk terus memakai sunblock, terutama jika Anda sering berinteraksi dengan sinar matahari. Bercak putih di tubuh kita adalah kulit tanpa pigmen. Kulit tanpa pelindung alami dari dampak buruk sinar matahari. Maka pastikan Anda selalu memakai tabir surya sebelum keluar rumah.


Salam,

Andini

Monday, May 16, 2011

My Story

I first noticed a white patch on my leg about four years ago. I have always had a back with uneven skin tone and white spots, but I thought it was normal because my father's back was also that way. I never thought that it was a condition I needed to address.

About 2 years ago I accompanied my brother to a dermatologist in Indonesia. My brother's skin was flaking excessively back then. His skin was also itching whenever he got in contact with too much sun. This was a problem because living in the tropics meant dealing with the strong sun.

While he was in the doctor's office I just stayed outside, waiting. Then a gentleman sat beside me. His face was full of big white spots. His hands were also almost full of white patches. He was dark skinned so the white patches were extra visible. I tried not to stare, but the curiosity was killing me so I started a conversation. I asked whether he had a fire related injury. He said no. He said it started with a tiny spot on his cheek and it became larger and larger. He was already living with the condition for years and years before he came to the dermatologist. I immediately made myself see the dermatologist too. I was diagnosed with vitiligo that day. The doctor ran a UV light in a dark room to see the spots on my body. I had lots of them. Some I did not even know existed.

The doctor prescribed me with a cream. It was a corticosteroid cream that I do not remember the name. He gave me two options; to continue with the cream and sunbathe every morning or go through the UV treatment. The UV treatment was a bit expensive for me back then. In Indonesia at that time the rate for UV treatment was Rp 100.000,-/cm/visit. It was about US$10 per cm per visit.

I did not really stick to the sunbathing routine or the cream for that matter. I was just simply forgetting that I had vitiligo. That was until I got married, moved to Houston and be a full-time housewife. Suddenly white patches started to appear quite rapidly. My skin became even more sensitive to weather and insects.

I went to a dermatologist in West Houston Medical Center and she examined me in less than 5 minutes. Elaborated the treatment methods and quickly got out of the room. I was left with a nurse that gave me a steroid shot and then I was proceed to the UV room to get my white patches treated. The doctor gave me prescription for Elidel and Protopic to be applied twice a day, once in the morning and before I go to bed. I was scheduled to come for UV treatment twice a week. US$45 per visit. It was surely cheaper than the treatment in Indonesia, but in the end I decided to stop because I was not comfortable with the idea that I might need to get UV treatment and corticosteroid cream (and shots) for the rest of my life. Na-ah, that is not the way I want to live.

What scared me the most was the thought that everything that was prescribed to me was fighting the outcome. The UV treatment and cream were fighting the white patches on my skin and not what caused the white patches to appear on my skin on the first place. Is there any research that shows those treatments as completely harmless when done for years? I have not heard of such research. I did not want to be another statistic. I was already one of the 2% of the world population that live with vitiligo.

My dermatologist was distant, practical and just seemed like she did not really care. She made me think (and my doctor in Indonesia too) that vitiligo just appeared in some people because they had problem in the autoimmune area or they inherited it genetically. Well, I could just read wikipedia to know that.

I wanted to know why. Why did the white patches appeared and keep re-appearing? Why is my immune system fighting my own body? Is everything OK with me? Aren't those issues more important? I mean sure we care about our looks. Vanity is humiliating to admit, but we care. So yes, a promise that UV treatment and steroid cream can make me repigmenting sounded heavenly, but still, it did not answer the why. Something is wrong with me and I want to know what. Those dermatologists did not care.

It was frustrating to feel like I know that something was wrong with me but the "experts" did not even want to try to find out. I started to do research on my own. I started to do yoga because peace of mind helps in any kind of frustrating events, I started to look for cure from outside of the "western medicine" ways. The research and discussion with my yoga teacher brought me to a homeopathist in Houston.

Homeopathy was new and truth be told, a bit peculiar to me. I have not done extensive research on the field, but I felt it was worth the try. I did not want to expose myself to another "harsh" treatment so homeopathy sounded like it could be the answer.

For the first time a health practitioner asked me about my health, family and psychological history. It was a breathe of fresh air. He genuinely seemed like he wanted to know and find out. I then began thinking about major events in my life that might triggered my stress level to escalade. I found several. I never admitted them, but those events and my feelings about them never really went away. I found out that I needed to make peace with those feelings (and people). I was given a small bottle of homeopathy medicine that I needed to take for the course of 30 days. Ten drips three times a day.

Nothing really happened. I still have my white patches and the homeopathy did not help to arrest new ones to appear. So naturally I stopped it and started to do more research. I still have my whole life ahead of me to try other natural approach and I am not going to stop now. At least the homeopathist gave a me a new way to look at my vitiligo as a reminder that my mind holds an important part of my health and well being.

Friday, May 13, 2011

Vitiligo

Nama saya Andini dan saya hidup dengan vitiligo.

Definition of vitiligo by PubMed Health:


Vitiligo is a skin condition in which there is a loss of brown color (pigment) from areas of skin, resulting in irregular white patches that feel like normal skin.


Vitiligo appears to occur when immune cells destroy the cells that produce brown pigment (melanocytes). This destruction is thought to be due to an autoimmune problem, but the cause is unknown.


It is estimated that 1 - 2% of individuals worldwide are affected by vitiligo. That accounts for approximately 50 - 60 million people. It affects each race equally across the globe. (National Institute of Arthritic Musculoskeletal and Skin Diseases. Oct 2004)


Definisi vitiligo oleh PubMed Health:


Vitiligo adalah suatu kondisi di mana kulit kehilangan kemampuan untuk memproduksi pigmen, sehingga pada pasien vitiligo terlihat bercak-bercak putih yang bila disentuh terasa seperti kulit biasa.


Vitiligo muncul ketika sistem kekebalan tubuh menciptakan antibodi terhadap sel-sel yang memproduksi pigmen warna cokelat (melanocytes). Kondisi di mana sistem kekebalan tubuh bertindak abnormal dengan menghancurkan sel-sel yang tidak berbahaya dikenal sebagai penyakit autoimmune. Sebab dari penyakit autoimmune belum diketahui.


Diperkirakan 1-2% penduduk dunia memiliki vitiligo atau sekitar 50-60 juta orang. Vitiligo menyerang siapapun, tidak pandang usia, jenis kelamin dan suku. 

Membaca statistik yang menyatakan bahwa saya adalah 1 dari hanya 2% penduduk dunia yang terkena vitiligo membuat saya merasa istimewa. Sayangnya, hal ini juga membuat tidak populernya penelitian medis untuk menemukan jawaban bagi keabnormalan yang dialami oleh tubuh pemilik vitiligo. Pendeknya, sampai saat ini kebanyakan pemilik vitiligo masih berada dalam kebingungan, keresahan dan ketakutan karena ketidaktahuan akan apa yang salah pada tubuh mereka dan apa yang dapat dilakukan untuk membuat vitiligo hilang.

Saya dan mungkin banyak pemilik vitiligo lainnya merasa sangat bersyukur bahwa vitiligo tidak menular dan bukan penyakit yang mengancam jiwa. Saya bersyukur bahwa meskipun memiliki vitiligo, saya masih dapat mempergunakan setiap organ tubuh dengan normal dan hidup seperti biasa. Sayangnya, hidup dengan vitiligo juga berarti hidup dengan tatapan bingung (atau khawatir), pertanyaan yang tidak diharapkan dan bahkan ejekan dari orang-orang di sekitar. Hidup dengan vitiligo butuh rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang besar.

Empat tahun lalu saya mulai menyadari bercak-bercak putih di tubuh dan satu tahun kemudian seorang dermatologis mendiagnosis saya dengan vitiligo. Kini penyebarannya masih tergolong lambat, kurang lebih hanya 5% dari seluruh tubuh, tetapi saya memperhatikan bahwa dalam 1 tahun terakhir semakin banyak bercak putih yang muncul dan hal ini membuat saya semakin rajin melakukan riset.

Blog ini saya buat agar teman-teman yang memiliki vitiligo atau keluarga dari pemilik vitiligo bisa memperoleh sudut pandang lain serta informasi yang berkaitan dengan vitiligo dalam bahasa Indonesia.

Saya akan membagi cerita, artikel dan pengetahuan tentang terapi, diet atau apa saja yang saya temukan atau pernah lakukan untuk mengobati vitiligo.

Saya akan sangat senang untuk menerima surat dari Anda. Silakan lemparkan pertanyaan, berbagi cerita atau keingintahuan Anda tentang vitiligo ke: andini@loveforindonesia.com


Salam,

Andini