Sebagai pemilik vitiligo, kita harus paham pentingnya tabir surya bagi kulit tersayang. Kulit kita yang penuh dengan belang dan mungkin terlihat tidak "sempurna", namun sangat berharga.
Ketika mendengar kata "sunblock" atau "sunscreen" atau tabir surya, seringkali kita langsung berasumsi bahwa produk itu hanya perlu dipakai supaya kulit tidak hitam. Menjadi hitam adalah sesuatu yang begitu membuat khawatir sehingga satu-satunya pertimbangan untuk memakai tabir surya adalah supaya tidak menjadi hitam. Padahal fungsi tabir surya jauh lebih banyak daripada hanya menjaga kulit supaya tidak hitam.
Asal tahu saja, meskipun memakai tabir surya kulit Anda tetap bisa hitam. Ya, karena fungsi utama tabir surya adalah melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar matahari seperti terbakar, penuaan dini dan kanker kulit. Bagi pemilik vitiligo, kulit putih yang kita miliki adalah kulit tanpa pigmen. Pigmen sendiri berfungsi sebagai pelindung alami kulit dari dampak buruk sinar ultraviolet.
Ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih tabir surya:
1. SPF
Di setiap bungkus tabir surya Anda akan menemukan tulisan SPF yang merupakan singkatan dari Sun Protection Factor. Semakin tinggi angka SPF, semakin kuat perlindungan yang diberikan kepada kulit. SPF memberitahu kita berapa lama lagi kita dapat berada di bawah matahari tanpa takut terbakar atau gosong. Misalkan seseorang biasanya mendapati kulitnya terbakar apabila berada di bawah matahari selama 15 menit. Dengan memakai tabir surya ber-SPF 15 maka orang itu dapat berada di bawah sinar matahari 15 kali lebih lama tanpa takut terbakar.
Angka yang dianjurkan adalah SPF 15 ke atas untuk perlindungan maksimum. Nilai SPF berkisar antara 2 hingga 60. Tapi jangan langsung berasumsi SPF 50 akan memberikan perlindungan yang jauh lebih besar karena penelitian membuktikan bahwa tabir surya dengan SPF 50 hanya memberikan proteksi 1-2% lebih banyak daripada SPF 30.
2. UVA dan UVB
Label pada tabir surya akan memberitahu proteksi UVA atau UVB. Sinar matahari terdiri atas UVA dan UVB. UVA bertanggungjawab terhadap penuaan dini pada kulit. Namun bila berlebihan sinar UVA juga bisa menyebabkan kanker. Sinar UVB bertanggungjawab terhadap kulit yang terbakar dan juga kanker kulit.
Pilih produk tabir surya dengan tulisan "UVA/UVB protection" atau "broad spectrum protectant".
3. Waterproof vs Water Resistant
Jika Anda akan beraktifitas di dalam air, pilih tabir surya dengan tulisan "waterproof" atau "water resistant" yang kurang lebih artinya tahan air.
Tabir surya yang "waterproof" akan tahan menempel pada kulit selama 80 menit, sedangkan yang "water resistant" hanya 40 menit.
Sumber: U. S. Food and Drug Administration. Center for Food Safety and Applied Nutrition Office of Cosmetics and Colors Fact Sheet June 27, 2000;
Harga tabir surya memang sedikit mahal, tetapi percayalah bahwa itu akan menjadi investasi yang berharga di masa depan. Kulit kita berharga, apapun warnanya.
Salam,
Andini
Sunday, May 29, 2011
Tuesday, May 17, 2011
Sebab - Akibat
Saya percaya bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia dengan sempurna. Bahwa Ia sudah menciptakan suatu sistem yang sangat kompleks, namun luar biasa sempurna dalam bentuk tubuh manusia. Saya percaya semua hal di dalam tubuh kita saling berhubungan. Ada sebab, ada akibat. Begitu juga dengan vitiligo.
Selama tiga tahun memiliki vitiligo saya sudah menemui dua orang dokter. Satu di RSCM dan satu lagi di West Houston Medical Center. Satu setengah tahun yang lalu saya pindah ke Houston untuk mengikuti suami. Kedua dokter itu memiliki pendekatan dan solusi yang sama. Kurang lebih yang mereka lakukan adalah memberi penjelasan tentang apa itu vitiligo dan apa yang dapat dilakukan untuk menghilangkannya. Tidak ada jaminan bahwa vitiligo akan hilang.
Kedua dokter itu menawarkan solusi yang sama: salep yang mengandung corticosteroid dan penyinaran dengan sinar UVB. Dokter di Houston bahkan memberikan saya suntikan steroid untuk menstimulasi produksi melamin. Saya lupa nama salep yang diberikan oleh dokter di Indonesia, tetapi dua salep yang diberikan oleh dokter di Houston adalah Protopic 0,1 dan Elidel. Saya sempat melakukan terapi sinar selama hampir 2 bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menghentikan terapi tersebut dan salep yang diberikan.
Saya memutuskan untuk berhenti karena saya merasa tidak nyaman dengan pengobatan yang diberikan. Saya tidak percaya bahwa penggunaan salep dan terapi laser tidak memiliki dampak negatif bagi saya di masa depan jika dilakukan terus-menerus selama bertahun-tahun. Saya juga merasa tidak nyaman dengan ide memerangi vitiligo dengan cara-cara yang keras. Vitiligo adalah akibat. Kita perlu mencari dan mengobati sebab.
Satu hal yang perlu Anda lakukan ketika didiagnosa dengan vitiligo: lakukan tes tiroid. Pastikan bahwa Anda menderita atau tidak menderita hyperthyroidism. Jika angka hormon tiroid Anda lewat batas normal maka carilah dokter yang dapat memberikan pengobatan pada area tersebut. Jika angka hormon tiroid Anda normal (seperti saya) maka mulailah mencari hal lain yang dapat menjadi penyebab vitiligo.
Tubuh kita adalah pemberi signal yang sangat baik tentang penyakit yang kita miliki. Sayangnya terkadang kita memilih untuk mengacuhkannya. Maka mengapa tidak melihat vitiligo sebagai cara tubuh kita tersayang untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih dari sekedar bercak-bercak putih di kulit.
Saya tidak bermaksud mengecilkan dampak psikologis yang muncul pada pemilik vitiligo. Sama sekali tidak. Saya mengerti ada tekanan-tekanan sosial yang muncul ketika bercak-bercak vitiligo menjadi semakin jelas terlihat. Ada standar keindahan fisik yang sulit dipenuhi oleh pemilik vitiligo dan masyarakat sekitar akan dengan senang hati terus-menerus mengingatkan kita tentang standar-standar itu. Saya hanya ingin melempar sebuah topik untuk dipikirkan: apakah Anda memang hanya ingin memerangi vitiligo atau mencari penyebab sesungguhnya di balik munculnya vitiligo itu?
Saya meninggalkan pengobatan konvensional karena saya percaya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam mekanisme tubuh saya, bukan hanya sebatas kulit. Ada sesuatu yang membuat sistem saya berantakan. Ada sesuatu yang membuat vitiligo saya muncul.
Ketahui bahwa saya tidak akan berpanjang-panjang membahas nama salep atau terapi sinar UVA dan UVB. Pengobatan seperti itu tidak berhasil dan tidak cocok bagi saya. Saya ingin mencari cara alternatif untuk melihat dan mengobati vitiligo. Saya ingin tubuh saya kembali seimbang.
Untuk saat ini, teman-teman pemilik vitiligo, jangan lupa untuk terus memakai sunblock, terutama jika Anda sering berinteraksi dengan sinar matahari. Bercak putih di tubuh kita adalah kulit tanpa pigmen. Kulit tanpa pelindung alami dari dampak buruk sinar matahari. Maka pastikan Anda selalu memakai tabir surya sebelum keluar rumah.
Salam,
Andini
Selama tiga tahun memiliki vitiligo saya sudah menemui dua orang dokter. Satu di RSCM dan satu lagi di West Houston Medical Center. Satu setengah tahun yang lalu saya pindah ke Houston untuk mengikuti suami. Kedua dokter itu memiliki pendekatan dan solusi yang sama. Kurang lebih yang mereka lakukan adalah memberi penjelasan tentang apa itu vitiligo dan apa yang dapat dilakukan untuk menghilangkannya. Tidak ada jaminan bahwa vitiligo akan hilang.
Kedua dokter itu menawarkan solusi yang sama: salep yang mengandung corticosteroid dan penyinaran dengan sinar UVB. Dokter di Houston bahkan memberikan saya suntikan steroid untuk menstimulasi produksi melamin. Saya lupa nama salep yang diberikan oleh dokter di Indonesia, tetapi dua salep yang diberikan oleh dokter di Houston adalah Protopic 0,1 dan Elidel. Saya sempat melakukan terapi sinar selama hampir 2 bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menghentikan terapi tersebut dan salep yang diberikan.
Saya memutuskan untuk berhenti karena saya merasa tidak nyaman dengan pengobatan yang diberikan. Saya tidak percaya bahwa penggunaan salep dan terapi laser tidak memiliki dampak negatif bagi saya di masa depan jika dilakukan terus-menerus selama bertahun-tahun. Saya juga merasa tidak nyaman dengan ide memerangi vitiligo dengan cara-cara yang keras. Vitiligo adalah akibat. Kita perlu mencari dan mengobati sebab.
Satu hal yang perlu Anda lakukan ketika didiagnosa dengan vitiligo: lakukan tes tiroid. Pastikan bahwa Anda menderita atau tidak menderita hyperthyroidism. Jika angka hormon tiroid Anda lewat batas normal maka carilah dokter yang dapat memberikan pengobatan pada area tersebut. Jika angka hormon tiroid Anda normal (seperti saya) maka mulailah mencari hal lain yang dapat menjadi penyebab vitiligo.
Tubuh kita adalah pemberi signal yang sangat baik tentang penyakit yang kita miliki. Sayangnya terkadang kita memilih untuk mengacuhkannya. Maka mengapa tidak melihat vitiligo sebagai cara tubuh kita tersayang untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih dari sekedar bercak-bercak putih di kulit.
Saya tidak bermaksud mengecilkan dampak psikologis yang muncul pada pemilik vitiligo. Sama sekali tidak. Saya mengerti ada tekanan-tekanan sosial yang muncul ketika bercak-bercak vitiligo menjadi semakin jelas terlihat. Ada standar keindahan fisik yang sulit dipenuhi oleh pemilik vitiligo dan masyarakat sekitar akan dengan senang hati terus-menerus mengingatkan kita tentang standar-standar itu. Saya hanya ingin melempar sebuah topik untuk dipikirkan: apakah Anda memang hanya ingin memerangi vitiligo atau mencari penyebab sesungguhnya di balik munculnya vitiligo itu?
Saya meninggalkan pengobatan konvensional karena saya percaya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam mekanisme tubuh saya, bukan hanya sebatas kulit. Ada sesuatu yang membuat sistem saya berantakan. Ada sesuatu yang membuat vitiligo saya muncul.
Ketahui bahwa saya tidak akan berpanjang-panjang membahas nama salep atau terapi sinar UVA dan UVB. Pengobatan seperti itu tidak berhasil dan tidak cocok bagi saya. Saya ingin mencari cara alternatif untuk melihat dan mengobati vitiligo. Saya ingin tubuh saya kembali seimbang.
Untuk saat ini, teman-teman pemilik vitiligo, jangan lupa untuk terus memakai sunblock, terutama jika Anda sering berinteraksi dengan sinar matahari. Bercak putih di tubuh kita adalah kulit tanpa pigmen. Kulit tanpa pelindung alami dari dampak buruk sinar matahari. Maka pastikan Anda selalu memakai tabir surya sebelum keluar rumah.
Salam,
Andini
Monday, May 16, 2011
My Story
I first noticed a white patch on my leg about four years ago. I have always had a back with uneven skin tone and white spots, but I thought it was normal because my father's back was also that way. I never thought that it was a condition I needed to address.
About 2 years ago I accompanied my brother to a dermatologist in Indonesia. My brother's skin was flaking excessively back then. His skin was also itching whenever he got in contact with too much sun. This was a problem because living in the tropics meant dealing with the strong sun.
While he was in the doctor's office I just stayed outside, waiting. Then a gentleman sat beside me. His face was full of big white spots. His hands were also almost full of white patches. He was dark skinned so the white patches were extra visible. I tried not to stare, but the curiosity was killing me so I started a conversation. I asked whether he had a fire related injury. He said no. He said it started with a tiny spot on his cheek and it became larger and larger. He was already living with the condition for years and years before he came to the dermatologist. I immediately made myself see the dermatologist too. I was diagnosed with vitiligo that day. The doctor ran a UV light in a dark room to see the spots on my body. I had lots of them. Some I did not even know existed.
The doctor prescribed me with a cream. It was a corticosteroid cream that I do not remember the name. He gave me two options; to continue with the cream and sunbathe every morning or go through the UV treatment. The UV treatment was a bit expensive for me back then. In Indonesia at that time the rate for UV treatment was Rp 100.000,-/cm/visit. It was about US$10 per cm per visit.
I did not really stick to the sunbathing routine or the cream for that matter. I was just simply forgetting that I had vitiligo. That was until I got married, moved to Houston and be a full-time housewife. Suddenly white patches started to appear quite rapidly. My skin became even more sensitive to weather and insects.
I went to a dermatologist in West Houston Medical Center and she examined me in less than 5 minutes. Elaborated the treatment methods and quickly got out of the room. I was left with a nurse that gave me a steroid shot and then I was proceed to the UV room to get my white patches treated. The doctor gave me prescription for Elidel and Protopic to be applied twice a day, once in the morning and before I go to bed. I was scheduled to come for UV treatment twice a week. US$45 per visit. It was surely cheaper than the treatment in Indonesia, but in the end I decided to stop because I was not comfortable with the idea that I might need to get UV treatment and corticosteroid cream (and shots) for the rest of my life. Na-ah, that is not the way I want to live.
What scared me the most was the thought that everything that was prescribed to me was fighting the outcome. The UV treatment and cream were fighting the white patches on my skin and not what caused the white patches to appear on my skin on the first place. Is there any research that shows those treatments as completely harmless when done for years? I have not heard of such research. I did not want to be another statistic. I was already one of the 2% of the world population that live with vitiligo.
My dermatologist was distant, practical and just seemed like she did not really care. She made me think (and my doctor in Indonesia too) that vitiligo just appeared in some people because they had problem in the autoimmune area or they inherited it genetically. Well, I could just read wikipedia to know that.
I wanted to know why. Why did the white patches appeared and keep re-appearing? Why is my immune system fighting my own body? Is everything OK with me? Aren't those issues more important? I mean sure we care about our looks. Vanity is humiliating to admit, but we care. So yes, a promise that UV treatment and steroid cream can make me repigmenting sounded heavenly, but still, it did not answer the why. Something is wrong with me and I want to know what. Those dermatologists did not care.
It was frustrating to feel like I know that something was wrong with me but the "experts" did not even want to try to find out. I started to do research on my own. I started to do yoga because peace of mind helps in any kind of frustrating events, I started to look for cure from outside of the "western medicine" ways. The research and discussion with my yoga teacher brought me to a homeopathist in Houston.
Homeopathy was new and truth be told, a bit peculiar to me. I have not done extensive research on the field, but I felt it was worth the try. I did not want to expose myself to another "harsh" treatment so homeopathy sounded like it could be the answer.
For the first time a health practitioner asked me about my health, family and psychological history. It was a breathe of fresh air. He genuinely seemed like he wanted to know and find out. I then began thinking about major events in my life that might triggered my stress level to escalade. I found several. I never admitted them, but those events and my feelings about them never really went away. I found out that I needed to make peace with those feelings (and people). I was given a small bottle of homeopathy medicine that I needed to take for the course of 30 days. Ten drips three times a day.
Nothing really happened. I still have my white patches and the homeopathy did not help to arrest new ones to appear. So naturally I stopped it and started to do more research. I still have my whole life ahead of me to try other natural approach and I am not going to stop now. At least the homeopathist gave a me a new way to look at my vitiligo as a reminder that my mind holds an important part of my health and well being.
About 2 years ago I accompanied my brother to a dermatologist in Indonesia. My brother's skin was flaking excessively back then. His skin was also itching whenever he got in contact with too much sun. This was a problem because living in the tropics meant dealing with the strong sun.
While he was in the doctor's office I just stayed outside, waiting. Then a gentleman sat beside me. His face was full of big white spots. His hands were also almost full of white patches. He was dark skinned so the white patches were extra visible. I tried not to stare, but the curiosity was killing me so I started a conversation. I asked whether he had a fire related injury. He said no. He said it started with a tiny spot on his cheek and it became larger and larger. He was already living with the condition for years and years before he came to the dermatologist. I immediately made myself see the dermatologist too. I was diagnosed with vitiligo that day. The doctor ran a UV light in a dark room to see the spots on my body. I had lots of them. Some I did not even know existed.
The doctor prescribed me with a cream. It was a corticosteroid cream that I do not remember the name. He gave me two options; to continue with the cream and sunbathe every morning or go through the UV treatment. The UV treatment was a bit expensive for me back then. In Indonesia at that time the rate for UV treatment was Rp 100.000,-/cm/visit. It was about US$10 per cm per visit.
I did not really stick to the sunbathing routine or the cream for that matter. I was just simply forgetting that I had vitiligo. That was until I got married, moved to Houston and be a full-time housewife. Suddenly white patches started to appear quite rapidly. My skin became even more sensitive to weather and insects.
I went to a dermatologist in West Houston Medical Center and she examined me in less than 5 minutes. Elaborated the treatment methods and quickly got out of the room. I was left with a nurse that gave me a steroid shot and then I was proceed to the UV room to get my white patches treated. The doctor gave me prescription for Elidel and Protopic to be applied twice a day, once in the morning and before I go to bed. I was scheduled to come for UV treatment twice a week. US$45 per visit. It was surely cheaper than the treatment in Indonesia, but in the end I decided to stop because I was not comfortable with the idea that I might need to get UV treatment and corticosteroid cream (and shots) for the rest of my life. Na-ah, that is not the way I want to live.
What scared me the most was the thought that everything that was prescribed to me was fighting the outcome. The UV treatment and cream were fighting the white patches on my skin and not what caused the white patches to appear on my skin on the first place. Is there any research that shows those treatments as completely harmless when done for years? I have not heard of such research. I did not want to be another statistic. I was already one of the 2% of the world population that live with vitiligo.
My dermatologist was distant, practical and just seemed like she did not really care. She made me think (and my doctor in Indonesia too) that vitiligo just appeared in some people because they had problem in the autoimmune area or they inherited it genetically. Well, I could just read wikipedia to know that.
I wanted to know why. Why did the white patches appeared and keep re-appearing? Why is my immune system fighting my own body? Is everything OK with me? Aren't those issues more important? I mean sure we care about our looks. Vanity is humiliating to admit, but we care. So yes, a promise that UV treatment and steroid cream can make me repigmenting sounded heavenly, but still, it did not answer the why. Something is wrong with me and I want to know what. Those dermatologists did not care.
It was frustrating to feel like I know that something was wrong with me but the "experts" did not even want to try to find out. I started to do research on my own. I started to do yoga because peace of mind helps in any kind of frustrating events, I started to look for cure from outside of the "western medicine" ways. The research and discussion with my yoga teacher brought me to a homeopathist in Houston.
Homeopathy was new and truth be told, a bit peculiar to me. I have not done extensive research on the field, but I felt it was worth the try. I did not want to expose myself to another "harsh" treatment so homeopathy sounded like it could be the answer.
For the first time a health practitioner asked me about my health, family and psychological history. It was a breathe of fresh air. He genuinely seemed like he wanted to know and find out. I then began thinking about major events in my life that might triggered my stress level to escalade. I found several. I never admitted them, but those events and my feelings about them never really went away. I found out that I needed to make peace with those feelings (and people). I was given a small bottle of homeopathy medicine that I needed to take for the course of 30 days. Ten drips three times a day.
Nothing really happened. I still have my white patches and the homeopathy did not help to arrest new ones to appear. So naturally I stopped it and started to do more research. I still have my whole life ahead of me to try other natural approach and I am not going to stop now. At least the homeopathist gave a me a new way to look at my vitiligo as a reminder that my mind holds an important part of my health and well being.
Friday, May 13, 2011
Vitiligo
Nama saya Andini dan saya hidup dengan vitiligo.
Definition of vitiligo by PubMed Health:
Vitiligo is a skin condition in which there is a loss of brown color (pigment) from areas of skin, resulting in irregular white patches that feel like normal skin.
Vitiligo appears to occur when immune cells destroy the cells that produce brown pigment (melanocytes). This destruction is thought to be due to an autoimmune problem, but the cause is unknown.
It is estimated that 1 - 2% of individuals worldwide are affected by vitiligo. That accounts for approximately 50 - 60 million people. It affects each race equally across the globe. (National Institute of Arthritic Musculoskeletal and Skin Diseases. Oct 2004)
Definisi vitiligo oleh PubMed Health:
Vitiligo adalah suatu kondisi di mana kulit kehilangan kemampuan untuk memproduksi pigmen, sehingga pada pasien vitiligo terlihat bercak-bercak putih yang bila disentuh terasa seperti kulit biasa.
Vitiligo muncul ketika sistem kekebalan tubuh menciptakan antibodi terhadap sel-sel yang memproduksi pigmen warna cokelat (melanocytes). Kondisi di mana sistem kekebalan tubuh bertindak abnormal dengan menghancurkan sel-sel yang tidak berbahaya dikenal sebagai penyakit autoimmune. Sebab dari penyakit autoimmune belum diketahui.
Diperkirakan 1-2% penduduk dunia memiliki vitiligo atau sekitar 50-60 juta orang. Vitiligo menyerang siapapun, tidak pandang usia, jenis kelamin dan suku.
Membaca statistik yang menyatakan bahwa saya adalah 1 dari hanya 2% penduduk dunia yang terkena vitiligo membuat saya merasa istimewa. Sayangnya, hal ini juga membuat tidak populernya penelitian medis untuk menemukan jawaban bagi keabnormalan yang dialami oleh tubuh pemilik vitiligo. Pendeknya, sampai saat ini kebanyakan pemilik vitiligo masih berada dalam kebingungan, keresahan dan ketakutan karena ketidaktahuan akan apa yang salah pada tubuh mereka dan apa yang dapat dilakukan untuk membuat vitiligo hilang.
Saya dan mungkin banyak pemilik vitiligo lainnya merasa sangat bersyukur bahwa vitiligo tidak menular dan bukan penyakit yang mengancam jiwa. Saya bersyukur bahwa meskipun memiliki vitiligo, saya masih dapat mempergunakan setiap organ tubuh dengan normal dan hidup seperti biasa. Sayangnya, hidup dengan vitiligo juga berarti hidup dengan tatapan bingung (atau khawatir), pertanyaan yang tidak diharapkan dan bahkan ejekan dari orang-orang di sekitar. Hidup dengan vitiligo butuh rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang besar.
Empat tahun lalu saya mulai menyadari bercak-bercak putih di tubuh dan satu tahun kemudian seorang dermatologis mendiagnosis saya dengan vitiligo. Kini penyebarannya masih tergolong lambat, kurang lebih hanya 5% dari seluruh tubuh, tetapi saya memperhatikan bahwa dalam 1 tahun terakhir semakin banyak bercak putih yang muncul dan hal ini membuat saya semakin rajin melakukan riset.
Blog ini saya buat agar teman-teman yang memiliki vitiligo atau keluarga dari pemilik vitiligo bisa memperoleh sudut pandang lain serta informasi yang berkaitan dengan vitiligo dalam bahasa Indonesia.
Saya akan membagi cerita, artikel dan pengetahuan tentang terapi, diet atau apa saja yang saya temukan atau pernah lakukan untuk mengobati vitiligo.
Saya akan sangat senang untuk menerima surat dari Anda. Silakan lemparkan pertanyaan, berbagi cerita atau keingintahuan Anda tentang vitiligo ke: andini@loveforindonesia.com
Salam,
Andini
Definition of vitiligo by PubMed Health:
Vitiligo is a skin condition in which there is a loss of brown color (pigment) from areas of skin, resulting in irregular white patches that feel like normal skin.
Vitiligo appears to occur when immune cells destroy the cells that produce brown pigment (melanocytes). This destruction is thought to be due to an autoimmune problem, but the cause is unknown.
It is estimated that 1 - 2% of individuals worldwide are affected by vitiligo. That accounts for approximately 50 - 60 million people. It affects each race equally across the globe. (National Institute of Arthritic Musculoskeletal and Skin Diseases. Oct 2004)
Definisi vitiligo oleh PubMed Health:
Vitiligo adalah suatu kondisi di mana kulit kehilangan kemampuan untuk memproduksi pigmen, sehingga pada pasien vitiligo terlihat bercak-bercak putih yang bila disentuh terasa seperti kulit biasa.
Vitiligo muncul ketika sistem kekebalan tubuh menciptakan antibodi terhadap sel-sel yang memproduksi pigmen warna cokelat (melanocytes). Kondisi di mana sistem kekebalan tubuh bertindak abnormal dengan menghancurkan sel-sel yang tidak berbahaya dikenal sebagai penyakit autoimmune. Sebab dari penyakit autoimmune belum diketahui.
Diperkirakan 1-2% penduduk dunia memiliki vitiligo atau sekitar 50-60 juta orang. Vitiligo menyerang siapapun, tidak pandang usia, jenis kelamin dan suku.
Membaca statistik yang menyatakan bahwa saya adalah 1 dari hanya 2% penduduk dunia yang terkena vitiligo membuat saya merasa istimewa. Sayangnya, hal ini juga membuat tidak populernya penelitian medis untuk menemukan jawaban bagi keabnormalan yang dialami oleh tubuh pemilik vitiligo. Pendeknya, sampai saat ini kebanyakan pemilik vitiligo masih berada dalam kebingungan, keresahan dan ketakutan karena ketidaktahuan akan apa yang salah pada tubuh mereka dan apa yang dapat dilakukan untuk membuat vitiligo hilang.
Saya dan mungkin banyak pemilik vitiligo lainnya merasa sangat bersyukur bahwa vitiligo tidak menular dan bukan penyakit yang mengancam jiwa. Saya bersyukur bahwa meskipun memiliki vitiligo, saya masih dapat mempergunakan setiap organ tubuh dengan normal dan hidup seperti biasa. Sayangnya, hidup dengan vitiligo juga berarti hidup dengan tatapan bingung (atau khawatir), pertanyaan yang tidak diharapkan dan bahkan ejekan dari orang-orang di sekitar. Hidup dengan vitiligo butuh rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang besar.
Empat tahun lalu saya mulai menyadari bercak-bercak putih di tubuh dan satu tahun kemudian seorang dermatologis mendiagnosis saya dengan vitiligo. Kini penyebarannya masih tergolong lambat, kurang lebih hanya 5% dari seluruh tubuh, tetapi saya memperhatikan bahwa dalam 1 tahun terakhir semakin banyak bercak putih yang muncul dan hal ini membuat saya semakin rajin melakukan riset.
Blog ini saya buat agar teman-teman yang memiliki vitiligo atau keluarga dari pemilik vitiligo bisa memperoleh sudut pandang lain serta informasi yang berkaitan dengan vitiligo dalam bahasa Indonesia.
Saya akan membagi cerita, artikel dan pengetahuan tentang terapi, diet atau apa saja yang saya temukan atau pernah lakukan untuk mengobati vitiligo.
Saya akan sangat senang untuk menerima surat dari Anda. Silakan lemparkan pertanyaan, berbagi cerita atau keingintahuan Anda tentang vitiligo ke: andini@loveforindonesia.com
Salam,
Andini
Subscribe to:
Posts (Atom)