Sudah delapan tahun saya hidup dengan vitiligo. Awalnya saya memandangnya sebelah mata. Hanya bintik putih. Hanya kulit yang warnanya tidak sama rata. Tetapi lalu bintik putih melebar, bulatan putih bermunculan. Saya terpaksa belajar untuk mengenal vitiligo. Perkenalan ini membuat saya membenci vitiligo. Mengutuknya habis-habisan, merasa sedih, merasa berbeda, merasa... aneh.
Sepanjang yang saya ingat, saya selalu menyayangi diri saya. Saya selalu menganggap diri saya cukup. Saya tidak ingin merubah apapun. Memiliki vitiligo membuat saya tidak lagi menerima diri saya apa adanya. Saya membenci perasaan itu. Saya benci ketidakmampuan saya untuk menerima diri saya apa adanya. Masa-masa itu suram dan gelap. Pikiran saya selalu penuh dengan vitiligo, perasaan saya selalu sedih. Letih sekali untuk berada dalam kondisi seperti itu. Memuakkan, bahkan. Maka dengan segenap daya upaya saya memilih untuk memaafkannya. Saya memilih untuk memaafkan vitiligo, bahkan menerimanya. Saya tidak mempertanyakannya, saya tidak mengutuknya. Saya memilih hidup dengannya.
Ketidaksempurnaan ini adalah milik saya dan saya ingin merasa damai dengan segala yang ada di hidup saya. Keberadaan vitiligo tidak bisa dirubah. Saya bisa berusaha mengobatinya, tetapi saya harus bisa menerima kenyataan bahwa kemungkinan besar vitiligo akan tetap ada. Saya menolak untuk dikalahkan oleh vitiligo. Saya memilih untuk mengenalnya, saya memilih untuk memandang diri saya di cermin dan tidak mengasihani diri sendiri. Saya menolak untuk jadi manusia yang mengutuk hidup hanya karena saya berbeda dari orang-orang lain.
Karena blog ini saya banyak menerima e-mail dari sesama pemilik vitiligo atau orangtua dari anak yang memiliki vitiligo. Beberapa menanyakan cara menyembuhkan vitiligo, beberapa hanya mengucap salam kenal, dan beberapa menyampaikan perasaan sedih dan marah karena vitiligo. Saya bisa memahami setiap perasaan yang mereka sampaikan dalam surat-surat elektronik itu. Saya mengerti rasa putus asa, sedih, marah, dan malu karena vitiligo, tetapi saya juga mengerti perasaan damai dan bahagia karena bisa hidup dengan vitiligo. Ya, bahagia. Saya bahagia ketika saya bisa menerima bahwa, seperti setiap manusia yang berjalan di muka bumi, saya TIDAK sempurna. Saya bisa menerima bahwa hidup tidak selalu seperti yang direncanakan dan bahwa saya bisa memilih untuk tidak dikalahkan oleh pikiran-pikiran yang membuat saya sedih.
Saya memilih untuk hidup untuk hari ini, untuk saat ini. Kadang yang perlu kita lakukan adalah mengambil satu langkah demi satu langkah. Tidak perlu buru-buru lari. Cobalah berjalan dahulu. Jika kamu merasa limbung maka carilah seseorang untuk disandarkan. Seseorang yang dapat memegang tanganmu, membantumu melangkah. Jangan menutup diri. Kesempatan untuk berbahagia tidak datang kepada orang yang menutup pintu hati.
--------------------
Vitiligo
Ternyata ketidaksempurnaan jauh lebih mudah diterima bila itu milik orang lain
Janji untuk mencintai dan menghargai ternyata jauh lebih sulit diberikan pada diri sendiri
Untuk pertama kalinya bayangan di cermin terasa seperti bukan milikku
Untuk pertama kalinya ada sesuatu yang ingin ku rubah
Untuk pertama kalinya muncul rasa malu pada sesuatu yang memang milikku, memang untukku
Ternyata tidak menilai buku dari sampulnya lebih sulit dilakukan bila buku itu milik sendiri
Kekuatan untuk menerima kenyataan ternyata paling sulit diberikan kepada diri sendiri
Berulangkali kujanjikan pada orang lain bahwa mereka sempurna seperti adanya
Berulangkali kuyakinkan orang lain bahwa mereka berharga,
bahwa hidup tidak memandang warna
Lebih mudah berkata daripada melakukan
Lebih mudah berjanji daripada mempercayai
Kukira aku mencintai diriku apa adanya
Kukira aku kuat
Ternyata belum
Ternyata tidak
Maafkan aku, diriku
Andini Haryani
13 Mei 2011